jump to navigation

Photoshop Tutorials 18/02/2011

Posted by pustakabahasa in Isapan Jempol.
Tags: , , , , ,
add a comment

Some time ago I got a great Photoshop tutorial. This tutorial describes how to turn your photos into a sketch in a simple way. This method can enhances your photos in different ways. If completed, the sketch you can use as an unique profile photo.

Kalimat Efektif 03/06/2009

Posted by pustakabahasa in Pojok Pustaka.
3 comments

Kalimat efektif adalah kalimat yang berhasil menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, maupun pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara atau penulis. Untuk itu, penyampaian harus memenuhi syarat sebagai kalimat yang baik, yaitu strukturnya benar, pilihan katanya tepat, hubungan antarbagiannya logis, dan ejaannya pun harus benar. Berikut ini adalah beberapa contoh pola kesalahan yang umum terjadi dalam penulisan serta perbaikannya agar menjadi kalimat yang efektif.

1. Penggunaan dua kata yang sama artinya dalam satu kalimat:

– Sejak dari usia delapan tahun ia telah ditinggalkan ayahnya.
Seharusnya:
Sejak usia delapan tahun ia telah ditinggalkan ayahnya.

– Hal itu disebabkan karena perilakunya sendiri yang kurang menyenangkan.
Seharusnya:
Hal itu disebabkan perilakunya sendiri yang kurang menyenangkan.

– Ayahku rajin bekerja agar supaya dapat mencukupi kebutuhan hidup.
Seharusnya:
Ayahku rajin bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

– Pada era zaman modern ini teknologi berkembang sangat pesat.
Seharusnya:
Pada zaman modern ini teknologi berkembang sangat pesat.

– Berbuat baik kepada orang lain adalah merupakan tindakan terpuji.
Seharusnya:
Berbuat baik kepada orang lain merupakan tindakan terpuji.

2. Penggunaan kata berlebih yang “mengganggu” struktur kalimat:

– Menurut berita yang saya dengar mengabarkan bahwa kurikulum akan segera diubah.
Seharusnya:
Berita yang saya dengar mengabarkan bahwa kurikulum akan segera diubah.
Atau
Menurut berita yang saya dengar, kurikulum akan segera diubah.

– Kepada yang bersalah harus dijatuhi hukuman setimpal.
Seharusnya:
Yang bersalah harus dijatuhi hukuman setimpal.

3. Penggunaan imbuhan yang kacau:

– Yang meminjam buku di perpustakaan harap dikembalikan.
Seharusnya:
Yang meminjam buku di perpustakaan harap mengembalikan.
Atau
Buku yang dipinjam dari perpustakaan harap dikembalikan.

– Ia diperingati oleh kepala sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya.
Seharusnya:
Ia diperingatkan oleh kepala sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya.

– Operasi yang dijalankan Reagan memberi dampak buruk.
Seharusnya:
Oparasi yang dijalani Reagan berdampak buruk.

– Dalam pelajaran bahasa Indonesia mengajarkan juga teori apresiasi puisi.
Seharusnya:
Dalam pelajaran BI diajarkan juga teori apresiasi puisi.
Atau
Pelajaran BI mengajarkan juga apresiasi puisi.

4. Kalimat tak selesai:

– Manusia yang secara kodrati merupakan mahluk sosial yang selalu ingin berinteraksi.
Seharusnya:
Manusia yang secara kodrati merupakan mahluk sosial, selalu ingin berinteraksi.

– Rumah yang besar yang terbakar itu.
Seharusnya:
Rumah yang besar itu terbakar.

5. Penggunaan kata dengan struktur dan ejaan yang tidak baku:

– Kita harus bisa merubah kebiasaan yang buruk.
Seharusnya:
Kita harus bisa mengubah kebiasaan yang buruk.

– Pertemuan itu berhasil menelorkan ide-ide cemerlang.
Seharusnya:
Pertemuan itu telah menelurkan ide-ide cemerlang.

– Gereja itu dilola oleh para rohaniawan secara profesional.
Seharusnya:
Gereja itu dikelola oleh para rohaniwan secara profesional.

6. Penggunaan tidak tepat kata di mana dan yang mana:

– Saya menyukainya di mana sifat-sifatnya sangat baik.
Seharusnya:
Saya menyukainya karena sifat-sifatnya sangat baik.

– Rumah sakit di mana orang-orang mencari kesembuhan harus selalu bersih.
Seharusnya:
Rumah sakit tempat orang-orang mencari kesembuhan harus selalu bersih.

– Manusia membutuhkan makanan yang mana makanan itu harus mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.
Seharusnya:
Manusia membutuhkan makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.

7. Penggunaan kata daripada yang tidak tepat:

– Seorang daripada pembatunya pulang ke kampung kemarin.
Seharusnya:
Seorang di antara pembantunya pulang ke kampung kemarin.

– Seorang pun tidak ada yang bisa menghindar daripada pengawasannya.
Seharusnya:
Seorang pun tidak ada yang bisa menghindar dari pengawasannya.

– Tendangan daripada Ricky Jakob berhasil mematahkan perlawanan musuh.
Seharusnya:
Tendangan Ricky Jakob berhasil mematahkan perlawanan musuh.

8. Pilihan kata yang tidak tepat:

– Dalam kunjungan itu Presiden Yudhoyono menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan masyarakat.
Seharusnya:
Dalam kunjungan itu Presiden Yudhoyono menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan masyarakat.

– Bukunya ada di saya.
Seharusnya:
Bukunya ada pada saya.

9. Kalimat ambigu yang dapat menimbulkan salah arti:

– Usul ini merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan untuk memulai pembicaraan damai antara komunis dan pemerintah yang gagal.
Kalimat di atas dapat menimbulkan salah pengertian. Siapa/apa yang gagal? Pemerintahkah atau pembicaraan damai yang pernah dilakukan?
Seharusnya:
Usul ini merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan untuk memulai kembali pembicaraan damai yang gagal antara pihak komunis dan pihak pemerintah.

– Sopir Bus Santosa yang Masuk Jurang Melarikan Diri
Judul berita di atas dapat menimbulkan salah pengertian. Siapa/apa yang dimaksud Santosa? Nama sopir atau nama bus? Yang masuk jurang busnya atau sopirnya?
Seharusnya:
Bus Santoso Masuk Jurang, Sopirnya Melarikan Diri.

10. Pengulangan kata yang tidak perlu:

– Dalam setahun ia berhasil menerbitkan lima judul buku setahun.
Seharusnya:
Dalam setahun ia berhasil menerbitkan lima judul buku.

– Film ini menceritakan perseteruan antara dua kelompok yang saling menjatuhkan, yaitu perseteruan antara kelompok Tang Peng Liang dan kelompok Khong Guan yang saling menjatuhkan.
Seharusnya:
Film ini menceritakan perseteruan antara kelompok Tan Peng Liang dan kelompok Khong Guan yang saling menjatuhkan.

11. Kata kalau yang dipakai secara salah:

– Dokter itu mengatakan kalau penyakit AIDS sangat berbahaya.
Seharusnya:
Dokter itu mengatakan bahwa penyakit AIDS sangat berbahaya.

– Siapa yang dapat memastikan kalau kehidupan anak pasti lebih baik daripada orang tuanya?
Seharusnya:
Siapa yang dapat memastikan bahwa kehidupan anak pasti lebih baik daripada orang tuanya?

*Sumber: http://www.bisnet.or.id

Istilah 19/03/2009

Posted by pustakabahasa in Pojok Pustaka.
add a comment

– Penulisan AC disosialisasikan menjadi perangkat/peranti pengondisi udara.

Peragawan merupakan lema terpisah dan bentuk anomali karena tidak ada imbuhan pe-wan.

– Penggunaan kata gadget dipilih karena lebih diterima daripada acang.

–  Kata resleting tidak dipakai karena di KBBI Edisi Keempat sudah ada kata ritsleting yang memiliki makna ‘alat penutup pakaian’.

– Kata hard disk menjadi diska di KBBI Edisi Keempat. Akan tetapi, Desk Bahasa ”PR” tidak akan memakainya.

– Kata compact disk dialihbahasakan menjadi cakram padat.

Keputusan 6 Maret 2009 19/03/2009

Posted by pustakabahasa in Pojok Pustaka.
add a comment

Nomine adalah orang yang dicalonkan, sedangkan nominator adalah orang atau tim panel yang mencalonkan seorang nomine dalam proses pencalonan (nominasi).
– Penulisan nama sekolah menggunakan angka arab (karena tak menunjukkan tingkatan), sedangkan penulisan kelas menggunakan angka romawi (karena menunjukkan tingkatan).
– Untuk menyatakan hari lahir Nabi Muhammad saw. gunakan kata maulid.
Pasca– dirapatkan dengan kata benda, seperti pascapembunuhan. Jika pasca diikuti selain kata benda, ganti dengan kata ‘setelah’, seperti setelah membunuh.
Masih belum merupakan pemborosan kata. Oleh karena itu, gunakan saja belum.
– Pilih diksi yang tepat. Jalan itu ambles, bukan ambruk. Yang ambruk, antara lain jembatan.
– Bukan insidentil, melainkan insidental.
– Kata baru yang sudah tercantum dalam KBBI Edisi Keempat: goyobod, cunihin, bobotoh, ngabuburit,
mengkritisi, diler,
dan ritel.
Sesuai harus diikuti dengan karena merupakan bentuk idiomatik atau verba berpreposisi.
Dibandingkan diikuti oleh dengan, kecuali diikuti frasa yang diawali prefiks me- (dengan bisa dihi-
langkan).
Tuhan Yang Maha Pengasih, bukan Tuhan yang Maha Pengasih.
Diperinci bukan dirinci, memerinci bukan merinci, terperinci bukan terinci, perincian bukan rincian karena kata dasarnya perinci, bukan rinci.
Ad hoc : untuk tujuan tertentu.
Ad interim : untuk sementara waktu.
Liabilitas : hambatan, beban.
Solvabilitas : kesolidan keuangan, yakni kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya.
Ombudsman : lembaga pengaduan.

Piano Merah Mahogany 11/02/2009

Posted by pustakabahasa in Isapan Jempol.
Tags:
5 comments
Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih seorang pemuda berusia dua puluhan, saya bekerja sebagai sales perusahaan piano St. Louis. Kami menjual piano ke seluruh negara bagian melalui iklan-iklan kecil di surat kabar. Jika ada tanggapan yang cukup serius, barulah kami mengangkut piano itu ke atas mobil-mobil pikap kami, pergi ke alamat yang dituju, dan menjual piano-piano kami kepada orang-orang yang sudah memesan.

Setiap kali mengiklankan barang dagangan di daerah kapas Southeast Missouri, kami selalu menerima tanggapan dari seorang konsumen lewat kartu pos yang isinya, “Tolong kirimkan sebuah piano baru untuk cucu kecil saya. Warnanya harus merah mahogany. Saya bisa membayar sepuluh dolar sebulan dari hasil menjual telur.”Tulisan wanita tua itu memenuhi seluruh halaman belakang kartu pos, sampai terisi semua. Lalu dia melanjutkan tulisannya ke bagian depan kartu pos, bahkan sampai ke pinggirannya sehingga hanya menyisakan sedikit sekali ruang untuk menulis alamat.

Kami tidak bisa menjual piano dengan cicilan sepuluh dolar sebulan. Tidak akan ada lembaga keuangan mana pun yang mau menyetujui kontrak pembayaran sekecil itu. Jadi, kami abaikan saja kartu posnya.
Akan tetapi, pada suatu hari, kebetulan saya sedang berada di wilayah itu untuk melayani tanggapan-tanggapan dari pelanggan lain. Kemudian hanya iseng-iseng saya mencari alamat wanita tua itu. Saya menemukan tempat yang hampir sama dengan yang ada dalam bayangan saya.

Dia tinggal di sebuah gubuk kecil satu ruang, di tengah hamparan ladang pohon kapas. Lantai kabinnya kotor dan ayam berkeliaran di dalam rumah. Jelas, wanita ini tidak memenuhi syarat apa pun untuk membeli barang dengan kredit. Dia tidak punya mobil, tidak punya telepon, tidak punya pekerjaan. Yang dia punya hanyalah atap yang menaungi kepalanya, dan sama sekali bukan tipe yang bagus. Bahkan, saya bisa melihat sinar matahari lewat celah-celahnya. Cucu kecilnya berumur kira-kira sepuluh tahun, telanjang kaki, dan mengenakan baju dari karung goni. 

Saya menjelaskan kepada wanita itu bahwa kami tidak bisa menjual sebuah piano baru dengan bayaran sepuluh dolar sebulan dan tidak perlu lagi menulis surat kepada kami setiap kali dia melihati iklan kami di surat kabar lokalnya. Saya beranjak dari tempat itu dengan perasaan pedih, tetapi ternyata saran saya sama sekali tidak memengaruhinya. Dia tetap saja mengirimkan kartu pos yang sama, setiap enam minggu. Dia selalu meminta piano baru, tolong, warnanya merah mahogany, dan berjanji tidak menunggak cicilan sepuluh dolar sebulan itu. Hati saya berkecamuk.

Beberapa tahun kemudian, saya memiliki perusahaan piano sendiri. Ketika saya mengiklankan barang dagangan saya ke wilayah itu, kartu posnya mulai datang ke kantor saya. Berbulan-bulan lamanya, saya mengabaikannya. Habis, saya harus bagaimana lagi?

Lalu, suatu hari, saya kembali berada di wilayah itu, sesuatu terlintas dalam hati saya. Kebetulan saya membawa piano merah mahogany di pikap kecil saya. Meski saya tahu bahwa saat itu saya akan membuat suatu keputusan bisnis yang mengerikan, saya memutuskan untuk datang lagi ke gubuknya dan memberitahunya bahwa saya bisa menerima kontrak itu secara pribadi. Saya katakan, dia boleh membayar sepuluh dolar sebulan tanpa bunga. Itu artinya harus membayar sebanyak lima puluh dua kali cicilan. Saya bawakan piano baru itu ke dalam rumahnya dan menempatkannya di suatu sudut yang kira-kira tidak akan terkena bocoran air hujan. Saya menasihati wanita itu dan cucu kecilnya untuk menjaga agar ayam jangan sampai menyentuh pianonya, lalu saya pergi dengan keyakinan bahwa saya baru saja membuang sebuah piano baru.

Akan tetapi, cicilan ternyata benar-benar datang, lunas sampai lima puluh dua kali, seperti yang telah disepakati — kadang ada uang receh di dalam amplop berukuran tiga kali lima inci itu. Luar biasa!

Dua puluh tahun lamanya, saya melupakan kejadian itu begitu saja.

Lalu, pada suatu hari di Memphis, ketika sedang melakukan perjalanan bisnis lain. Setelah makan di Hotel Holiday Inn, saya masuk ke ruang tunggunya. Saya mendengar alunan musik piano yang begitu indah dari arah belakang. Saya menoleh dan melihat seorang wanita muda yang cantik sedang memainkan sebuah grand-piano mewah.

Karena saya sendiri juga bisa bermain piano, saya merasa kagum pada kepiawaiannya memainkan alat musik itu. Saya mengangkat gelas minuman saya dan berpindah ke meja di sebelah sang pianis, supaya saya bisa mendengarkan dan memperhatikan permainannya dengan lebih jelas. Dia tersenyum pada saya, menanyakan apa lagu yang saya minta. Ketika beristirahat sejenak, dia duduk di depan meja saya.

 “Bukankah Anda orang yang dulu menjual piano kepada nenek saya?” tanyanya.

Saya sama sekali tidak ingat maka saya minta dia menjelaskan.

Mulailah dia bercerita dan mendadak saya ingat. Ya Tuhan, ternyata dia! Dialah gadis kecil telanjang kaki berbaju karung goni itu!

Dia memberi tahu bahwa namanya Elise. Karena neneknya tidak bisa membiayainya les piano, dia belajar memainkan pianonya dengan
mendengarkan radio. Lalu dia mulai bermain piano di gereja, yang harus ditempuh oleh dia dan neneknya dengan jarak 2 mil dari rumah mereka.
Dia juga bermain piano di sekolah dan telah meraih banyak penghargaan dan akhirnya menerima beasiswa sekolah musik. Lalu dia menikah dengan seorang pengacara di Memphis dan dia membelikannya sebuah grand-piano yang  sekarang dimainkannya itu.

Sesuatu terlintas di kepala saya. “Elise,” kata saya, “Ruangan ini agak gelap. Apa warna piano itu?”

“Merah mahogany,” katanya. “Kenapa?”

Saya membisu. Mengertikah dia arti kata merah mahogany itu?

Sadarkah dia akan kegigihan neneknya yang tidak masuk akal itu, yang memaksa harus piano merah mahogany, padahal tidak seorang waras pun saat itu yang mau menjual piano apa pun kepadanya? Saya rasa tidak.

Kalau begitu apakah dia menyadari kesuksesan hebat yang telah berhasil diraih seorang gadis kecil hina berpakaian bahan karung goni itu? Tidak, saya yakin dia juga tidak mengerti hal itu.

Akan tetapi, saya sangat mengerti dan kerongkongan saya seperti tersumbat.

Akhirnya, saya berhasil menemukan lagi suara saya. “Saya hanya ingin tahu apa warna piano itu,” kata saya. “Saya bangga pada Anda. Permisi, saya harus naik ke kamar saya.”

 Saat itu saya benar-benar harus segera masuk ke kamar saya sebab laki-laki tidak pantas menangis di muka umum.

 JOE EDWARDS

 Joe Edwards menghabiskan hampir seluruh usia produktifnya sebagai seorang pemain piano jazz di klub-klub malam Kansas City. Sekarang dia telah pensiun, tetapi masih sering bermain piano pada acara-acara resepsi pernikahan di sekitar Springfield, Missouri.

 

*Dari e-mail seorang teman.Piano Merah Mahogany

Kata Serapan Dalam “Pikiran Rakyat” 11/02/2009

Posted by pustakabahasa in Pojok Pustaka.
Tags:
2 comments

Bahasa Indonesia banyak menyerap kata-kata serapan dari bahasa asing, seperti bahasa Belanda, Inggris, Arab, dan Cina. Banyak di antaranya telah masuk dalam entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Akan tetapi, entri-entri tersebut belum sepenuhnya diterima oleh pengguna (masyarakat), termasuk salah satunya di media massa.

KBBI                                                                  Bahasa “PR”

Isra Mikraj                                                         Isra Miraj
Kakbah                                                               Kabah
Lailatulkadar                                                    Lailatulqadar
Masjidilaksa                                                     Masjidilaqsa
istikamah                                                           istiqamah
swipoa                                                                 sempoa
Capgome                                                            Cap Go Me

administrator                                                    administratur * (Keterangan*: kata serapan dari bahasa Belanda yang menunjukkan jabatan dalam sebuah lembaga)

Penggunaan Tanda Baca (EYD) 28/01/2009

Posted by pustakabahasa in Pojok Pustaka.
1 comment so far

A Tanda Titik (.)

1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
Ayahku tinggal di Solo.
Biarlah mereka duduk di sana.
Dia menanyakan siapa yang akan datang.
Hari ini tanggal 6 April 1973.

Marilah kita mengheningkan cipta.
Sudilah kiranya Saudara mengabulkan permohonan ini.

2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.
Misalnya:

a
III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat Jenderal Agraria
1. …

b
1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Ilustrasi
1.2.1 Gambar Tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
Catatan:
Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan atau ikhtisar jika angka atau huruf itu merupakan yang terakhir dalam deretan angka atau huruf.

3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu.
Misalnya:
pukul 1.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik)

4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan jangka waktu.
Misalnya:
1.32.20 jam (1 jam, 35 menit, 20 detik)
0.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
0.0.30 jam (30 detik)

5. Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Weltervreden: Balai Pustaka.

6. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
Misalnya:
Desa itu berpenduduk 24.200 orang.
Gempa yang terjadi semalam menewaskan 1.231 jiwa.

Catatan: tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung.
Lihat halaman 2345 dan seterusnya.
Nomor gironya 5645678.

7. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Misalnya:
Acara Kunjungan Adam Malik
Bentuk dan Kebudayaan (Bab I UUD’45)
Salah Asuhan

8. Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan alamat pengirim surat.
Misalnya:
Jalan Diponegoro 82
Jakarta
1 April 1991

Yth. Sdr. Moh. Hasan
Jalan Arif 43
Palembang

Kantor Penempatan Tenaga
Jalan Cikini 71
Jakarta

B Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan prangko.
Satu, dua, … tiga!

2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi atau melainkan.
Misalnya:
Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.

3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau hari hujan, saya tidak akan datang.
Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.

Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
Dia lupa akan janjinya karena sibuk.
Dia tahu bahwa soal itu penting.

4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, dan akan tetapi.
Misalnya:

Oleh karena itu, kita harus berhati-hati.
Jadi, soalnya tidak semudah itu.

5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, nanti jatuh.

6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya:
Kata Ibu, ”Saya gembira sekali.”
“Saya gembira sekali,” kata Ibu, ”karena kamu lulus.”

7. Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba 6, Jakarta.
Sdr. Abdullah, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
Surabaya, 10 Mei 1960
Kuala Lumpur, Malaysia

8. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia, jilid 1 dan 2. Djakarta: PT Pustaka Rakjat.

9. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dlam catatan kaki.
Misalnya:
W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang (Yogyakarta: UP Indonesia, 1967), hlm. 4

10. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.

11. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
Rp12,50

12. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.
Misalnya:
Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
Di daerah kami, misalnya, masih banyak orang laki-laki yang makan sirih.
Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma:
Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.

13. Tanda koma dapat dipakai–untuk menghindari salah baca–di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh.
Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan terima kasih.
Bandingkan dengan:
Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh dalam pembinaan dan pengembangan bahasa.
Karyadi mengucapkan terima kasih atas bantuan Agus.

14. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
“Di mana Saudara tinggal?” tanya Karim.
“Berdiri lurus-lurus!” perintahnya.

C Tanda Titik Koma (;)

1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara.
Misalnya:
Malam makin larut; pekerjaan belum selesai juga.

2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat majemuk.
Misalnya:
Ayah mengurus tanamannya di kebun itu; Ibu sibuk bekerja di dapur; Adik menghapal nama-nama pahlawan nasional; saya sendiri asyik mendengarkan siaran “Pilihan Pendengar”.

D Tanda Titik Dua (:)

1. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian.
Misalnya:
Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.
Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan itu: hidup atau mati.

Tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan.
Misalnya:
Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
Fakultas itu mempunyai jurusan ekonomi umum dan jurusan ekonomi perusahaan.

2. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
Misalnya:
Ketua                           : Ahmad Wijaya
Sekretaris                  : S. Handayani
Bendahara                 : B. Hartawan
Tempat Sidang         : Ruang 104
Pengantar Acara     : Bambang S.

3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan.
Misalnya:
Ibu : (meletakkan beberapa koper) “Bawa
koper ini, Mir!”
Amir : “Baik, Bu.” (mengangkat koper dan
masuk)
Ibu : “Jangan lupa. Letakkan baik-baik!”
(duduk di kursi besar)

4. Tanda titik dua dipakai (i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.
Misalnya:
Tempo, I (1971), 34:7
Surah Yasin:9
Karangan Ali Hakim, Pendidikan Seumur Hidup: Sebuah Studi, sudah terbit.
Tjokronegero, Sutomo. 1968. Tjukupkah Saudara Membina Bahasa Persatuan Kita? Djakarta: Eresco.

E  Tanda Hubung (-)

1.  Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris.
Misalnya:
Di samping cara-cara lama itu ada ju-
ga cara yang baru.
Suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris.
Misalnya:
Beberapa pendapat mengenai masalah itu
telah disampaikan….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak
mau beranjak …
Atau
Beberapa pendapat mengenai masalah
itu telah disampaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau beranjak ….
Bukan
Beberapa pendapat mengenai masalah i-
tu telah disampaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak ma-
u beranjak ….

2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris.
Misalnya:
Kini ada cara yang baru untuk meng-
ukur panas.
Alat ukur baru ini memudahkan kita me-
ngukur kelapa.
Senjata ini merupakan alat pertahan-
an yang canggih.

3. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang.
Misalnya:
anak-anak
berulang-ulang
kemerah-merahan
Angka 2 sebagai tanda ulang hanya digunakan pada tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.

4. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal.
Misalnya:
p-a-n-i-t-i-a
8-4-1973

5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata.
Misalnya:
ber-evolusi
dua puluh lima-ribuan (20 5.000)
tanggung jawab dan kesetiakawanan-sosial
Bandingkan dengan:
be-revolusi
dua-puluh-lima-ribuan (1 25000)
tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial

6. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan -an, dan (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap.
Misalnya:
se-Indonesia
se-Jawa Barat
hadiah ke-2
tahun 50-an
mem-PHK-kan
hari-H
sinar-X
Menteri-Sekretaris Negara

7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing.
Misalnya:
di-smash
pen-tackle-an

F Tanda Pisah (–)
1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
Misalnya:
Kemerdekaan bangsa itu–saya yakin akan tercapai–diperjuangkan oleh bangas itu sendiri.

2. Tanda pisah menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
Misalnya:
Rangkaian temuan ini–evolusi, teori kenisbian, dan kini juga pembelahan atom–telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta.

3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti ‘sampai’.
Misalnya:
1910–1945
Tanggal 5–10 April 1970
Jakarta–Bandung
Catatan:
Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.G Tanda Elipsis (…)

1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
Misalnya:
Kalau begitu … ya, marilah kita bergerak.

2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan.
Misalnya:
Sebab-sebab kemerosotan … akan diteliti lebih lanjut.

Catatan:
Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir kalimat.
Misalnya:
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan hati-hati ….

H  Tanda Tanya (?)

1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
Misalnya:
Kapan ia berangkat?
Saudara tahu, bukan?

2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.
Misalnya:
Ia dilahirkan pada tahun 1683. (?)
Uangnya sebanyak 10 juta rupiah (?) hilang.

I  Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
Misalnya:
Alangkah seramnya peristiwa itu!
Bersihkan kamar itu sekarang juga!
Masakan! Sampai hati juga ia meninggalkan anak istrinya.
Merdeka!

J  Tanda Kurung ((…))
1. Tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
Misalnya:
Bagian Perencanaan sudah selesai menyusun DIK (Daftar Isian Kegiatan) kantor itu.
2. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan.
Misalnya:
Sajak Tranggono yang berjudul “Ubud” (nama tempat yang terkenal di Bali) ditulis pada tahun 1962.
Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan arus perkembangan baru dalam pasaran dalam negeri.
3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan.
Misalnya:
Kata cocaine diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kokain(a).
Pejalan kaki itu berasal dari (Kota) Surabaya.
4. Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan.
Misalnya:
Faktor produksi menyangkut masalah (a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.

K   Tanda Kurung Siku ([…])
1. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan itu memang terdapat di dalam naskah asli.

Misalnya:
Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemerisik.
2. Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung.
Misalnya:
Persamaan kedua proses ini (perbedaannya [lihat halaman 35–38] tidak dibicarakan) perlu dibentangkan di sini.

L Tanda Petik (“…”)

1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain.
Misalnya:
“Saya belum siap,” kata Mira, “tunggu sebentar!”
Pasal 36 UUD 1945 berbunyi, “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”
2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
Misalnya:
Bacalah ”Bola Lampu” dalam buku Dari Suatu Masa, dari Suatu Tempat.
Karangan Andi Hakim Nasoetion yang berjudul “Rapor dan Nilai Prestasi di SMA” diterbitkan dalam Tempo.
Sajak “Berdiri Aku” terdapat pada halaman 5 buku itu.
3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.
Misalnya:
Pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara ”coba dan ralat” saja.
Ia bercelana panjang yang di kalangan remaja dikenal dengan nama “cutbrai”.
4. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
Misalnya:
Kata Tono, “Saya juga minta satu.”
5. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
Misalnya:
Karena warna kulitnya, Budi mendapat julukan “Si Hitam”.
Bang Komar sering disebut “pahlawan”, ia sendiri tidak tahu sebabnya.
Catatan:
Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.

M  Tanda Petik Tunggal (‘…’)

1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun dalam petikan lain.
Misalnya:
Tanya Basri, “Kau dengar bunyi ‘kring-kring’ tadi?”
“Waktu kubuka pintu kamar depan, kudengar teriak anakku, ’Ibu, Bapak pulang’, dan rasa letihku lenyap seketika,” ujar Bapak Hamdan.
2. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata ungkapan asing.
Misalnya:
feed-back ‘balikan’

N  Tanda Garis Miring (/)

1. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwin.
Misalnya:
No. 7/PK/1973
Jalan Kramat II/10
tahun anggaran 1985/1986
2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata dan, atau, atau tiap.
Misalnya:
mahasiswa/mahasiswi
harganya Rp150,00/lembar

O  Tanda Penyingkat atau Apostrof  (‘)
Tanda penyingkat atau apostrof menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun.
Misalnya:
Ali ’kan kusurati. (‘kan = akan)
Malam ‘lah tiba. (‘lah = telah)
1 Januari ’88 (’88 = 1988)

Kata ”Memperhatikan” 22/01/2009

Posted by pustakabahasa in Menuang Ide.
add a comment

SETELAH cukup lama ditunggu, akhirnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional terbit juga. Semula, kamus ini direncanakan terbit bersamaan dengan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober – 1 November 2008 lalu. Namun karena ada masalah teknis pencetakan, kamus ini baru terbit tahun 2009. 
Sebagai redaktur bahasa, saya seperti mendapat ”jawaban” dengan kehadiran KBBI edisi keempat tersebut karena selama ini saya menyimpan tanya menyangkut beberapa lema (entry). Kata doping misalnya, pernah tercantum sebagai lema pada KBBI edisi kedua (1991) dengan kelas kata nomina, yang berarti penggunaan obat penguat tenaga atau perangsang untuk meningkatkan potensi olah ragawan. Namun pada KBBI edisi ketiga (2002), lema doping tidak tercantum lagi. Pada KBBI keempat, doping muncul lagi sebagai lema dengan embel-embel cak (cakapan) yang berarti pendadahan.
Namun, yang lebih penting dari KBBI edisi keempat ini adalah dikembalikannya lema perhati ke lema hati. Hal ini penting karena menyangkut bentuk turunan lainnya. Sejak enam tahun lalu, pemakai bahasa, terutama media cetak menggunakan kata memerhatikan karena pada KBBI edisi ketiga, lema yang ada adalah perhati. Dengan lema ini, bentuk turunannya adalah memerhatikan karena huruf [p] pada kata dasar, luluh saat didahului awalan me-. Meski demikian, dalam perjalanannya, kata memerhatikan ”digugat” oleh para pengamat bahasa. Mereka menilai, lema yang tepat adalah hati sehingga (salah satu) bentuk turunannya adalah memperhatikan
Menariknya, pendapat para pengamat bahasa tersebut diakomodasi oleh KBBI edisi keempat. Lema perhati diarahkan ke lema hati. Ditinjau dari prinsip item and arrangement, kata memperhatikan dibentuk dari kata dasar hati dan konfiks memper-kan. Namun bila dianalisis dengan prinsip item and process yang lebih mendetail, lema hati membutuhkan awalan ber- untuk menjadi verba (kata kerja) sehingga terbentuklah kata berhati. Berhati, seperti tercantum dalam KBBI edisi keempat, berarti menaruh hati, menaruh belas kasihan. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung M. Abdul Khak, setelah berhati, bentuk turunan berikutnya adalah perhati. Kata perhati (verba) diberi arti amati, cermati. Kata perhati yang kini statusnya sebagai bentuk turunan dari lema hati (bukan lema dasar), kemudian mendapat konfiks me(N)-kan, menjadi memperhatikan. Sementara pemerhati diberi arti orang yang memperhatikan. Kata perhatian berarti ihwal memperhatikan atau minat.
Awalan pembentuk verba adalah ber- dan me(N)-. Lema hati memiliki bentuk turunan berhati, perhati, perhatian, memperhatikan, dan sebagainya. ”Awalan ber akan menghasilkan bentuk derivasi per, pe, atau pel, seperti tani-bertani-pertanian-petani,” ujar Abdul Khak. Pemakai bahasa belum membutuhkan konsep tani-menani-penani. Dalam kaitan lema hati, secara konsep yang dibutuhkan adalah bentuk derivasi berhati, perhati, perhatian dan seterusnya, bukan hati-mehati-pehati. 
Kini, setelah KBBI edisi keempat terbit dengan mencantumkan lema hati (untuk mengoreksi lema perhati pada KBBI edisi ketiga), menjadi jelas bahwa bentuk turunan yang benar adalah memperhatikan, bukan lagi memerhatikan. (Imam Jahrudin Priyanto/”PR”)***

Sumber: Pikiran Rakyat (21-1-2009)

Bahasa Daerah Terancam Punah 22/01/2009

Posted by pustakabahasa in Menuang Ide.
1 comment so far

TEORI evolusi tentang seleksi alam yang menimpa makhluk hidup, kini mungkin terjadi pula pada bahasa. Terlepas dari kontroversi teori yang dikemukakan Charles Darwin (12 Februari 1809-19 April 1882) itu, sejumlah bahasa di dunia terancam punah. Kekhawatiran itu sudah menyeruak dengan mulai berkurang bahkan hilangnya penutur beberapa bahasa ibu atau bahasa daerah.
Dr. Gufran Ali Ibrahim, pakar sosiolinguistik dari Universitas Khairun Ternate, dalam makalahnya pada Kongres IX Bahasa Indonesia di Hotel Bumi Karsa Jakarta, 28 Oktober-1 November 2008 lalu menulis bahwa dalam buku Ethnologue: Languages of the World (Grimes: 2000), tercantum ada 6.809 bahasa di dunia. Dari jumlah itu, 330 bahasa memiliki penutur 1 juta orang atau lebih. Jumlah penutur yang besar ini berbanding terbalik dengan kira-kira 450 bahasa di dunia yang memiliki jumlah penutur sangat sedikit, telah berusia tua, dan cenderung bergerak menuju kepunahan. Pada saat yang sama, rata-rata jumlah penutur bahasa-bahasa di dunia hanya berkisar 6.000 orang atau lebih, hanya separuhnya memiliki penutur 6.000 orang atau lebih penutur, dan hanya separuhnya lagi memiliki penutur kurang dari 6.000 orang.
Menurut Gufran, secara garis besar ada dua faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab utama kepunahan bahasa daerah. Pertama, para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya di rumah. Kedua, ini merupakan pilihan sebagian masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa ibu dalam ranah komunikasi sehari-hari. 
Kecenderungan punahnya bahasa terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Beberapa negara di antaranya memiliki populasi etnik tak lebih dari 5.000 orang, meskipun beberapa di antaranya memiliki jumlah populasi etnik yang cukup besar, seperti bahasa Lenca (36.858 orang) dan bahasa Pipil (196.576 orang) di El Salvador. Namun demikian, penutur aktif kedua bahasa ini hanya sekitar 20 orang. Jadi, bahasa-bahasa ini sesungguhnya telah terancam punah di antara populasi totalnya yang relatif banyak. Sebagian besar dari bahasa-bahasa yang terancam punah itu merupakan bahasa etnik minoritas terisolasi atau minoritas yang berada dalam wilayah yang memiliki begitu beragam bahasa dan budaya. 
**
Di Indonesia, menurut Gufran, bahasa Ibu (penuturnya menyebut nama bahasa ini Ibo atau ”tuan tanah”) di Maluku Utara yang dalam catatan Voorhoeve dan Visser pada tahun 1987 berjumlah 35 penutur, tahun 2008 tinggal lima penutur dan berusia di atas 50 tahun-berada di satu wilayah masyarakat multibahasa yang perbatasan kebahasaannya hanya antardesa atau antarkampung yang berjarak tidak lebih dari 5 kilometer. Padahal, pada 1951 berdasarkan pemetaan Esser (Mahsun, 2008), bahasa-bahasa di Indonesia diidentifikasi berjumlah 200 bahasa. 
Berbeda dengan Esser, Salzner (1960) justru menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia tidak seperti yang dinyatakan Esser. Menurut dia, jumlah bahasa di Indonesia hanya 96. Akan tetapi, dengan memanfaatkan petugas kebudayaan yang terdapat di daerah-daerah di seluruh Indonesia, Lembaga Bahasa Nasional (1972) mencatat 418 bahasa daerah.
Sementara itu, dari ratusan bahasa daerah di Indonesia, dalam Ethnologue diuraikan beberapa bahasa yang mendekati kepunahan berdasarkan jumlah penutur yang tersisa, antara lain bahasa Amahai (50 orang), Hoti (10), Hukumina (1), Ibu (35), Kamarian (10), Kayeli (3), Nusa Laut (10), Piru (10), Bonerif (4), Kanum Bädi (10), Mapia (1), Massep (25), Mor (20-30), Tandia (2), Lom (2), Budong-budong (70), Dampal (90), dan Lengilu (10). Indikasi kepunahan sejumlah bahasa daerah itu dikhawatirkan akan berdampak pada kepunahan budaya yang mereka miliki, dan akhirnya mengancam kebudayaan nasional.
Untuk mengantisipasi permasalahan ini, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional mencantumkan ancaman kepunahan bahasa daerah sebagai salah satu kajian utama pada Kongres IX Bahasa Indonesia tahun 2008 lalu. Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono menyatakan kekhawatirannya terkait tergesernya penggunaan bahasa daerah oleh bahasa Indonesia. Misalnya, keluarga muda yang tinggal di kota cenderung menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga mereka.
Dendy menjelaskan, saat ini pihaknya sedang mengembangkan kelembagaan Pusat Bahasa (dalam hal ini Balai Bahasa) di delapan daerah untuk melakukan penelitian dalam rangka mengantisipasi kepunahan bahasa daerah. Kedelapan daerah itu antara lain Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Kepulauan Riau, Banten, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Gorontalo.
Pada sisi lain, Dendy menuturkan, sebagian ranah penggunaan bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing. Kondisi itu menunjukkan, kedudukan dan fungsi ketiga bahasa itu belum mantap dalam tata kehidupan masyarakat, terutama setelah reformasi tahun 1998 lalu. Sementara itu, tuntutan dunia kerja masa depan memerlukan insan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan berdaya saing, baik lokal, nasional, maupun global. Untuk memenuhi keperluan itu, sangat diperlukan keseimbangan penguasaan bahasa ibu (bahasa daerah), bahasa Indonesia, dan bahasa asing (untuk mereka yang berdaya saing global).
Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah di tanah air, ternyata adalah bahasa nasional itu sendiri, yakni bahasa Indonesia. Meskipun dalam teorinya bahasa Indonesia muncul dari keragaman bahasa daerah di Indonesia, bahasa persatuan yang didengungkan pada Sumpah Pemuda 1928 itu secara tidak langsung menjadi ancaman serius karena penutur bahasa daerah menjadi enggan mengajarkan bahasa ibu kepada keturunannya. Ancaman lainnya adalah bahasa gaul yang telah menjadi bahasa komunikasi sehari-hari warga perkotaan dan sering ”menempel” dalam bahasa Indonesia.
Menanggapi makin berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah di Indonesia dan merebaknya bahasa gaul, Dr. Ferry Rita, ahli antropolinguistik dari Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah menyatakan, hal itu wajar-wajar saja. Selama ini pun ragam bahasa gaul yang dulu sering disebut bahasa pasar merupakan salah satu unsur pembentuk bahasa Indonesia. Bahkan, bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu pasar yang menjadi bahasa pergaulan saat itu. 
Berbeda dengan keadaan bahasa daerah di Indonesia yang menghadapi ancaman kepunahan, beberapa bahasa lainnya malah mencapai popularitasnya. Di kawasan industri seperti Karawang, bahasa Jepang muncul sebagai bahasa favorit baru di kalangan siswa sekolah menengah kejuruan. Dengan sasaran pascakelulusan siswa mereka bisa langsung bekerja di salah satu perusahaan di kawasan industri tersebut, sekolah menengah kejuruan di Karawang mencantumkan pelajaran bahasa Jepang sebagai muatan lokal.
Bahasa asing lain yang popularitasnya tidak perlu diragukan adalah bahasa Inggris. Bahasa yang didaulat sebagai bahasa komunikasi internasional itu sedikitnya mulai menggeser peran atau posisi bahasa Indonesia. Pasalnya, di beberapa jurusan di perguruan tinggi Indonesia, bahasa Inggris sudah mulai digunakan sebagai bahasa pengantar perkuliahan. 
Oleh karena itu, tampaknya Teori Evolusi sedang menimpa dunia kebahasaan. Siapa yang lebih kuat, dialah yang akan bertahan. Bahasa daerah, mau tidak mau, harus tergerus oleh bahasa nasional, dan bahasa nasional harus kalah bersaing oleh bahasa asing atau bahasa internasional. Pertanyaannya, sampai kapankah bahasa-bahasa daerah di Indonesia akan bisa bertahan?***

M. Kadapi, staf bahasa Pikiran Rakyat.

Sumber: Pikiran Rakyat (21-1-2009)

Mengaji dan Mengkaji 22/01/2009

Posted by pustakabahasa in Menuang Ide.
Tags:
add a comment

SEBUT saja satu kata, kaji. Kata ini unik juga. Betapa tidak? Kata dasar yang satu ini menghasilkan bentuk turunan yang berbeda, yakni mengaji dan mengkaji ataupun pengajian dan pengkajian. Saya yakin bentuk turunan yang berbeda ini berasal dari kata dasar yang sama, yakni kaji. Alasannya, tidak ada kata dasar aji untuk bentuk turunan mengaji dan pengajian. Ataukah kaji merupakan kata dasar (dalam fungsi sebagai salah satu unsur pembentuk kata kerja) yang juga merupakan homonim (kata yang sama lafal dan ejaannya tetapi berbeda makna karena berasal dari sumber yang berlainan)? Saya sendiri berpendapat, dalam konteks seperti ini, kaji bukanlah homonim, apalagi homofon (kata yang sama lafalnya dengan kata lain tetapi berbeda ejaan dan maknanya) ataupun homograf (kata yang sama ejaannya dengan kata lain tetapi berbeda lafal dan maknanya).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Departemen Pendidikan Nasional, baik edisi II maupun edisi III, tidak secara tegas menyebutkan bahwa bentuk turunan mengaji dan mengkaji ataupun pengajian dan pengkajian berasal dari kata dasar yang sama, kaji. Namun demikian, penjelasan tentang kata-kata tersebut berada di bawah kata dasar kaji.
Kaji merupakan kata benda atau nomina yang berarti pelajaran (agama dan sebagainya) atau penyelidikan (tentang sesuatu). 
Hal yang menarik untuk dikaji adalah perbedaan bentuk turunan mengaji dan mengkaji ataupun pengajian dan pengkajian. Mengapa mengkaji dan pengkajian? Bukankah huruf k, p, t, s pada awal kata dasar luluh bila didahului awalan seperti terjadi pada kata mengubur (dari kata dasar kubur) dan kata bentukan lainnya, penguburan? Seperti juga mengibarkan (dari kata dasar kibar) dan pengibaran. Nah di sinilah menariknya. Para ahli bahasa rupanya lebih mengutamakan faktor kemudahan menangkap arti ketimbang hanya mengedepankan segi morfologis atau etimologis. Dengan demikian, diberlakukan perkecualian atas hukum k, p, t, s itu untuk mencapai makna yang lebih tinggi, yakni kemudahan membedakan arti. Dalam setiap bahasa, yang namanya perkecualian (exception) memang selalu ada. Boleh jadi, mengkaji dan pengkajian adalah bentuk salah (secara morfologis) yang dianggap benar (dalam konteks yang lebih tinggi yakni pembedaan arti).
Ada cita rasa bahasa yang berbeda antara mengaji Alquran dan mengkaji Alquran. Sebenarnya, kedua frasa ini bisa digunakan, namun arti mengaji Alquran tentu berbeda dengan mengkaji Alquran. 
KBBI memberi penjelasan khusus tentang kata mengaji dan mengkaji. Mengaji adalah kata kerja atau verba yang berarti mendaras (membaca) Alquran, sedangkan arti lainnya adalah belajar membaca tulisan Arab, atau belajar, mempelajari. Sementara mengkaji berarti belajar, mempelajari (yang juga merupakan arti ketiga dari mengaji), atau arti lainnya memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan), menguji, menelaah. 
Jadi memang terasa ada nuansa yang berbeda antara mengaji dan mengkaji (walaupun Malaysia menggunakan kata yang sama untuk kedua arti itu, yakni mengaji). KBBI pun memberi arti yang berbeda untuk pengajian dan pengkajian. Pengajian adalah nomina yang berarti pengajaran (agama Islam) atau pembacaan Alquran. Sementara pengkajian berarti proses, cara, perbuatan mengkaji, atau penyelidikan (pelajaran yang mendalam), atau penelaahan. 
Tentu saja ada sisi positif dari perbedaan atau pembedaan arti ini. Bila kedua arti tersebut hanya diwakili oleh kata pengajian, apakah BPPT juga merupakan singkatan dari Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi?***

IMAM JAHRUDIN PRIYANTO
Redaktur Bahasa Pikiran Rakyat.

Sumber: Pikiran Rakyat ( 2-8-2008 )